IRONI CALEG GILA
Jum'at, 4 April 2014, 23:31 WIB Suryanta Bakti Susila, Erick
Tanjung, Harry Siswoyo (Bengkulu), Tudji Martudji , Ochi April
(Yogyakarta), Rasyid Irfandi (Palembang)
Ilustrasi |
VIVAnews - Ibarat
suatu pertandingan olahraga, pemilihan umum menghasilkan kalah dan menang.
Pemenang bisa melenggang ke panggung kekuasaan, baik sebagai anggota DPR maupun
presiden. Bagi yang kalah, masih ada lima tahun lagi untuk memperkuat kembali
amunisi.
Namun,
dalam pemilu, muncul pula para pecundang yang tidak siap menerima kekalahan.
Baik harta, waktu, dan tenaga yang sudah dicurahkan untuk menjadi calon anggota
legislatif (caleg) tidak bisa kembali. Akhirnya hilang pula akal sehat.
Mengidap stres sesaat mungkin hanya sindrom yang ringan, tapi jadi gila betulan
sulit disembuhkan.
Inilah
yang menimpa sejumlah para caleg gagal pada Pemilu 2009. Dan para pakar sudah
wanti-wanti gejala serupa bisa menimpa para caleg yang tidak siap mental
menerima kekalahan pada Pemilu legislatif 2014, terutama yang modal pas-pasan
apalagi harus sampai berutang.
Pemandangan
itulah yang nampak di suatu tempat penghitungan suara (TPS) di kawasan
perumahan elit Alam Sutera, Kunciran, Tangerang. Sekitar pukul 5 sore 9 April
2009, penghitungan suara tengah berlangsung. Para warga setempat asyik
mengikuti proses perhitungan.
Namun,
gegap-gempita itu mendadak terusik oleh perilaku ganjil seorang pria. Dia
mendadak marah-marah tak jelas dan terlihat frustasi berat. Dia merangkak di pinggir
jalan dengan membawa-bawa cangkir sambil meminta-minta uang kepada orang yang
berlalu lalang, sembari berujar, ”kembalikan uang saya!” Belakangan dia adalah
seorang caleg yang kalah, stres berat. Namanya tidak perlu disebut, begitu pula
partai yang mendukungnya.
Masyarakat
yang menyaksikan ulah aneh itu tidak ada yang berani mendekat dan hanya melihat
dari jarak kejauhan saja. Bahkan sesekali dia melempari warga dengan cangkir
sambil marah-marah.
Mengetahui
hal itu, keluarga langsung membawanya pulang dan meminta maaf kepada warga
karena telah terganggu ketenangannya. Hingga beberapa hari usai pemilu pria itu
masih berperilaku ganjil.
Caleg
ini mengalami stres yang berlebihan, hingga mengalami depresi. Sebab tingkah
lakunya sudah seperti orang gila, dengan rambut yang masih klimis, dan hanya
mengenakan celana pendek, bahkan menjadi bahan ejek anak-anak.
Kisah
lain menimpa seorang caleg perempuan di Purbalingga, Jawa Tengah. Perempuan
yang kala itu berumur 33 tahun ini merasa kampanye masih berlangsung
hingga beberapa hari usai pemungutan dan penghitungan suara. Selama lima hari,
dia terus-menerus berpidato.
Keluarganya
mulai menangkap gelagat aneh. Mereka lalu membawa calon legislatif (caleg)
gagal ini ke Panti Rehabilitasi Mental dan Jiwa H Supono Mustajab di Desa
Bungkanel, Kecamatan Karangayar, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Tak
lama dirawat, wanita itu sudah tenang. Namun, pada hari-hari pertama perawatan,
wanita yang tengah hamil empat bulan ini merasa masih dalam suasana pemilu. Tak
jarang dia naik meja dan melakukan orasi politik.
Dia
mengaku sudah menghabiskan uang Rp100 juta. Tapi dia tak terpilih sebagai
caleg. Namun saat ditanya apa partainya, dia mengaku, “tidak ingat.”
Dua
kisah ini diangkat bukan untuk bahan olok-olokan. Akan tetapi, sebagai fenomena
yang pantas diantisipasi. Sejumlah rumah sakit di berbagai daerah pun telah
berbenah menghadapi kemungkinan buruk itu terjadi.
Menurut
seorang pegawai rumah sakit jiwa di Grogol, Jakarta, setidaknya ada enam caleg
gagal yang dibawa ke situ. Mereka dari berbagai latar belakang partai. ”Mereka
dirawat di ruang VIP diantarkan oleh keluarganya. Di antara mereka tampak
pandangannya kosong,” katanya kepada VIVAnews, Rabu 2 April 2014.
Udin
adalah seorang petugas kebersihan yang sudah bekerja di RS itu sejak 7 tahun
silam. Dia menjadi saksi bagaimana para caleg stres yang dirawat di RS Grogol
itu pasca pemilu 2009.
”Rata-rata
mereka ekspresinya ngomong sendiri. Ada juga yang diam, seperti orang
kecemasan, takut. Sorot matanya kosong,” kata Udin.
Direktur
medik & keperawatan RSJ Soeharto Heerdjan-Grogol, dr Mohammad Rizasyah
Hasan, SpKJ, ketika dikonfirmasi VIVAnews, ihwal penanganan caleg gagal pemilu tak mau
membuka identitas para pasiennya. Menurutnya, standar penanganan pasien yang
masuk ke rumah sakit tidak ditanya apakah caleg atau bukan, karena caleg bukan
pekerjaan. Pasien yang datang ditanya nama, jenis kelamin, dan pekerjaan.
”Nah,
kalau ada ditemukan setelah wawancara, itu rahasia dari dokter dan pasien. Nah
itu dia kita yang tidak bisa, kan,” katanya.
Fenomena
caleg stress setelah kalah di pemilu 2009 juga terjadi di Surabaya, Jawa Timur.
Kepala Ruangan Puri Anggek RSJ Menur, Abdul Habib, kepada VIVAnews, mengungkapkan sejumlah caleg gagal di Pemilu
2009 yang mengalami gangguan jiwa masih ada yang rutin menjalani pemeriksaan
sampai saat ini.
Namun,
Habib menolak menjelaskan identitas mereka. ”Wah, jangan kalau soal identitas
itu, pokoknya ada lah,” katanya. Mereka yang masih menjalani perawatan itu
untuk pemeriksaan lanjutan. Keluhannya, ”stres lah. Semua yang berhubungan
dengan jiwa, namanya ya gangguan jiwa.”
Fenomena Wajar
Fenomena
caleg stres di Palembang, Sumatera Selatan, juga terjadi. RSJ Erdinaldi Bahar
yang berlokasi di kota itu juga telah berbenah. Mereka menyiapkan ruang khusus
guna antisipasi naiknya permintaan pasca pemilu.
”Pada
2009 lalu ada satu Caleg dari salah satu partai yang berobat di RSJ Ernaldi
Bahar, namun hanya sebatas konseling," kata Wakil Direktur RSJ Ernaldi
Bahar Sumsel, Rusdi Kawilarang.
RSJ
Ernaldi Bahar menyediakan kelas VIP 4 kamar dengan 10 tempat tidur. Ruang itu
diperuntukkan buat caleg gagal bila terpaksa harus menjalani perawatan.
"Caleg
itu orang yang berpendidikan, pasti milih kelas VIP," ujarnya. Pria
yang menjabat sebagai wakil direktur sejak September 2011 ini mengatakan wajar
jika para caleg terkena depresi ataupun stres. Pasalnya, caleg yang
bersangkutan rata-rata sudah jor-joran mengeluarkan materi untuk dapat lolos ke
kursi parlemen.
"Wajar
kalau depresi, karena mereka maunya menang saja enggan kalah ketika
mencalonkan, harusnya mereka siap menang dan siap kalah, sehingga kuat
mentalnya," kata dia.
Psikiater
dr. Suryo Dharmono, menilai bahwa para caleg yang mengalami gangguan jiwa bisa
jadi terkena skizofrenia. Sering dianggap sepele, penyakit kelainan mental di
Indonesia semakin meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2010,
lebih dari satu juta orang Indonesia menderita skizofrenia.
Itu
merupakan kelainan mental yang ditandai gangguan proses berpikir, seperti
halusinasi dan delusi. Penderitanya bisa mengalami kelainan mental signifikan
sepanjang hidup. Sebab umumnya: tak kuat menahan tekanan mental.
Ironisnya,
masyarakat sering tak menyadari gejala skizofrenia. Pengobatan yang efektif dan
efisien pun kurang menyentuh. Padahal tanpa pengobatan tepat, skizofrenia dapat
menimbulkan berbagai dampak seperti buruk.
Penyakit
mental itu juga bukan tidak mungkin datang kembali. Jika kambuh, butuh waktu
lama memulihkannya. “Perlu waktu pemulihan 2 hingga 5 tahun. Bahkan, bila
kambuh berkali-kali, harus dilakukan pengobatan seumur hidup,” kata
Suryo. (ren)
Komentar
Posting Komentar